Di era digital saat ini, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi alat yang ampuh dalam membentuk arus informasi—termasuk penyebaran disinformasi. Salah satu bentuk paling mencolok dari fenomena ini adalah penggunaan bot, yakni akun otomatis yang dikendalikan oleh algoritma untuk menyebarkan pesan secara masif dan terkoordinasi. Bot AI dapat memproduksi dan menyebarkan ribuan pesan dalam hitungan detik, menciptakan ilusi konsensus atau kepopuleran atas isu tertentu. Ketika digunakan secara strategis dalam konteks politik atau sosial, bot dapat memengaruhi persepsi publik, memperkuat polarisasi, bahkan menggiring opini massa ke arah tertentu tanpa disadari.

Disinformasi yang disebarkan oleh bot tidak hanya menyebarkan berita palsu, tetapi juga bisa mengaburkan batas antara fakta dan opini, sehingga melemahkan kemampuan publik untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang benar. Yang lebih mengkhawatirkan, bot dapat memanfaatkan celah emosi manusia—seperti ketakutan, kemarahan, atau simpati—untuk membuat narasi palsu terasa meyakinkan. Dalam skala besar, aktivitas semacam ini mampu mengganggu proses demokrasi, memengaruhi hasil pemilu, dan merusak kepercayaan terhadap institusi.

Menghadapi ancaman ini, dibutuhkan pendekatan multidimensi: mulai dari regulasi terhadap platform digital, pengembangan AI yang etis, hingga peningkatan literasi digital masyarakat. Masyarakat harus mampu mengenali jejak bot dan memahami bagaimana manipulasi opini terjadi di balik layar. Tanpa kesadaran kolektif dan tanggung jawab bersama, AI yang seharusnya menjadi alat kemajuan bisa menjadi senjata berbahaya dalam medan perang informasi.