Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah merambah berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang konseling karier. Dengan kemampuan menganalisis data dalam jumlah besar, AI kini digunakan untuk memberikan rekomendasi jalur karier, menyusun resume secara otomatis, bahkan menyimulasikan wawancara kerja. Di satu sisi, teknologi ini dapat menjadi alat bantu yang sangat efisien, terutama bagi individu yang mencari arah atau ingin memahami potensi diri berdasarkan data objektif seperti keahlian, minat, dan tren pasar kerja. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan penting: apakah AI hanya membimbing, atau justru mulai mengarahkan keputusan pribadi seseorang?

Konseling karier idealnya bersifat personal, memperhatikan tidak hanya aspek teknis tetapi juga nilai, motivasi, dan dinamika emosi seseorang—hal-hal yang belum sepenuhnya dapat dipahami oleh algoritma. Ketika AI memberikan saran berdasarkan pola dan statistik, ada risiko bahwa pendekatannya menjadi terlalu kaku dan kurang memperhitungkan konteks individu secara utuh. Jika digunakan tanpa pendampingan manusia, AI bisa membentuk persepsi sempit tentang “karier terbaik”, dan membatasi eksplorasi terhadap pilihan-pilihan yang lebih luas atau tidak konvensional.

Agar AI benar-benar menjadi pembimbing yang bijak, penggunaannya harus tetap melibatkan peran konselor manusia yang mampu menafsirkan data dengan empati dan pemahaman mendalam. Kolaborasi antara kecanggihan teknologi dan kebijaksanaan manusia menjadi kunci agar bimbingan karier tetap bersifat holistik, memberdayakan, dan tidak semata-mata dikendalikan oleh logika algoritma. Pada akhirnya, keputusan tentang masa depan tetap seharusnya berada di tangan individu—bukan di ujung baris kode.