Kemajuan kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan karya-karya yang menakjubkan—dari lukisan, musik, puisi, hingga desain produk—yang secara teknis dihasilkan oleh mesin. Fenomena ini memunculkan pertanyaan hukum dan etika yang kompleks: siapa yang berhak atas hak cipta dari karya buatan AI? Apakah pencipta adalah algoritma itu sendiri, pengembang sistemnya, pengguna yang memberikan perintah, atau justru tidak ada yang bisa mengklaim secara sah? Sistem hukum tradisional umumnya mengakui hak cipta sebagai hak eksklusif yang melekat pada individu atau badan hukum yang secara kreatif menciptakan karya. Namun ketika proses kreatif dipicu oleh sistem non-manusia, batas antara pencipta dan alat menjadi kabur.

Di banyak yurisdiksi, hukum belum sepenuhnya mengakomodasi realitas baru ini. Beberapa negara menolak memberikan hak cipta pada karya yang tidak diciptakan oleh manusia, sementara yang lain membuka ruang bagi pengguna atau pengembang AI untuk mengklaim kepemilikan. Masalah ini menjadi semakin rumit ketika karya AI digunakan secara komersial atau diadaptasi oleh pihak ketiga. Tanpa kerangka hukum yang jelas, potensi sengketa akan terus meningkat, dan perlindungan terhadap penciptaan serta inovasi pun terancam.

Ke depan, diperlukan regulasi yang mampu menjembatani aspek teknis dan nilai-nilai hukum, dengan tetap menjunjung transparansi, keadilan, dan insentif terhadap inovasi. Dunia hukum harus mengejar ketertinggalannya dari teknologi, bukan hanya untuk menetapkan siapa yang berhak, tetapi juga untuk memastikan bahwa karya cipta—siapa pun pembuatnya—tetap berada dalam ekosistem yang etis dan berkelanjutan.